Kebijakan Politik Etis (Trias van Deventer)
Usai kedatangan Belanda ke tanah air pada tahun 1596 yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman, banyak sekali rempah-rempah yang telah mereka ambil. Dengan diambilnya berbagai kekayaan milik kita, membuat rakyat terus menderita.
Apalagi, rakyat pribumi juga diharuskan untuk menuruti segala kebijakan Belanda, termasuk tanam paksa. Hal ini membuat rakyat pribumi mengalami penderitaan seperti kemiskinan, kelaparan, hingga kematian. Berita mengenai praktik penindasan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah kolonial Belanda di Indonesia ini terdengar sampai ke Belanda.
Hal ini memicu perdebatan dari para tokoh Belanda terkait nasib rakyat Indonesia. Hingga akhirnya muncul pemikiran dari kalangan liberal yang meraih kemenangan politik di Belanda untuk membalas budi kepada wilayah jajahan pada pertengahan abad ke-19.
Pemikiran tersebut dimaksud sebagai politik etis, yaitu suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memiliki tanggung jawab moral bagi kesejahteraan rakyat pribumi. Pemikiran politik etis dipelopori oleh Pieter Brooshoft dan Conrad Theodore van Deventer.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru saja naik tahta menegaskan dalam sebuah pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mendapat panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap rakyat pribumi di Hindia Belanda.
Untuk itu, Ratu Wilhelmina membuat kebijakan politik etis mengenai panggilan moral tersebut yang terangkum dalam program Trias van Deventer yang berisi :
1. Irigasi (Pengairan)
Membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian. Sayangnya, kebijakan ini disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda yang membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan milik pengusaha asing.
2. Emigrasi
Yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi ke luar Jawa. Namun, para transmigran tersebut justru dimanfaatkan untuk menjadi buruh murah bagi perusahaan asing
3. Edukasi
Memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Hanya saja, pendidikan ini juga dimanfaatkan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah.
Kesimpulan dari politik etis ini bisa dibilang hanya sebagai siasat dari Belanda untuk menuruti pemikiran dari kaum humanis dan sosial demokrat Belanda. Pasalnya, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Belanda nyatanya tetap berpihak pada kepentingan mereka, hingga memicu gejolak dan kritik terhadap pelaksanaan politik etis.